Minggu, 15 Mei 2011

Terbongkarnya Kedok Yahudi di Jakarta


Teka-teki itu terjawab. Selama ini menjadi sangat sulit memahami. Kemana arah gerakan yang mengusung ideologi plurasime?

Para penganut ideologi pluralisme itu mula-mula hanya menginginkan kebebasan beragama. Mereka menuntut setiap paham agama itu, diberi ruang hidup secara bebas di Indonesia. Tidak ada restriksi atau pembatasan. Termasuk adanya undang-undang yang mengatur keberadaan agama di Indonesia.

Gerakan yang mendapatkan dukungan media massa, lembaga swadaya internsional, dan pemerintahan Barat, berusaha dengan sangat gigih, memperjuangkan paham pluralisme di Indonesia. Mereka menggunakan segala kemampuan dan kekuataan yang mereka miliki, agar paham pluralisme itu eksis, dan kemudian mereduksi agama mayoritas di Indoensia, yaitu Islam.

Makanya, mereka berlindung dibalik baju pemerintah yang sekarang sedang getol-getolnya memerangi "terorisme". Mereka - penganut pluralisme sekarang meniupkan dengan sangat keras tentang ancaman radikalisme, ekstrimisme, dan fundamentalisme. Kaum pluralis dengan menggunakan media yang ada, terus melakukan kampanye tentang ide-ide kotor, yang ingin mereduksi secara total nilai-nilai Islam dalam kehidupan kaum Muslimin.

Tetapi, sekarang semua menjadi sangat terang benderang, para pengusung gerakan pluralisme itu, hanyalah alat, dan menjadi "brokers", yang tujuannya hanyalah untuk melegalkan agama dan komunitas Yahudi di Indonesia.

Mereka menginginkan agar pemerintah melegalkan agama dan komunitas Yahudi Indonesia. Di mana selama ini, aktivitas mereka tertutup, dan selalu menggunakan berbagai "cover" untuk menutupi gerakan mereka.

Gerakan pluralisme yang menginginkan pemerintah memberikan pengakuan dan hak yang sama setiap agama, hanyalah "prolog" (mukaddimah) dari gerakan yang lebih besar, yang tujuannya ingin menjadikan agama Yahudi dan para pengikutnya di Indonesia menjadi legal.

Dengan semakin mencairnya sikap umat Islam terhadap berbagai ideologi dan agama, maka itu menjadi peluang akan legalisasi terhadap agama Yahudi dan para pendukungnya di Indonesia.

Gerakan pluralisme itu, sudah menyusup ke seluruh Ormas Islam, dan ada tokohnya, yang memperjuangkan secara permanen dan terus menerus paham dan ideologi pluralisme itu. Gerakan ini mendapatkan angin saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dan dilanjutkan oleh "Wahid Institute", yang terus menggelorakan tentang pluralisme di Indonesia.

Esensi gerakan pluralisme itu, bukan hanya ingin mereduksi agama Islam, tetapi gerakan ini juga ingin menjadikan agama Yahudi sebagai "centrum" (pusat) dari semua agama, karena pandangan agama Yahudi, yang sangat rasis itu.

Dengan menelanjangi agama Islam, dan dengan ide-ide semua agama sama, kebebasan agama, dan toleransi agama, maka dititik inilah masuk agama Yahudi dan para pengikutnya, dan kemudian melakukan kooptasi terhadap semua agama dan ideologi yang ada di Indonesia.

Sekarang langkah-langkah deterent dan deideologisasi, khususnya terhadap paham agama, khususnya Islam, karena Islam akan menjadi batu sandungan bagi masuknya agama Yahudi di Indonesia.

Mereka menggunakan 'trik-trik' politik, yang akan membuat kalangan pemeluk Islam kehilangan sikap "sajaah" (keberanian) untuk menyatakan dirinya sebagai Muslim. "Isyhadu bi anna muslimin". Mereka melucuti umat Islam dengan sederet isu yang sengaja mereka semburkan. Teroris, ekstrimis, fundamentalis, dan radikal. Dengan gempuran yang mereka lakukan melalui media itu, mentalitas umat Islam menjadi ciut nyalinya, dan kemudian mereka melenggang untuk mendirikan agama Yahudi di Indonesia.

Sabtu depan, 14 Mei, 2011, rencananya akan berlangsung peringatan ulang tahun atau peringatan hari kemerdekaan Israel di Jakarta. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana ini bisa berlangsung di negeri yang mayoritas penduduk beragama Islam?

http://savindievoice.files.wordpress.com/2010/09/pluralism-1_ruunu_3868.jpg Sementara itu, Israel berdiri menjadi sebuah negara, tak lain melalui pengusiran, penghancuran, dan pembunuhan terhadap rakyat Palestina.

Berulang kali terjadi pembantaian terhadap rakyat Palestina. Jumlahnya tidak sedikit. Mereka yang tewas dibunuh milisi Yahudi di Palestina. Jutaan orang yang diusir ke negara-negara lain, dan tanah kelahiran mereka dirampas. Kemudian, diduduki dan dijadikan negara yang bernama Israel.

Terakhir umat Islam disuguhi Israel sebuah episode tragedi kemanusiaan yang tiada taranya, yaitu berlangsungya genoside terhadap muslim Palestina Gaza, saat invasi militer Israel terhadap Gaza, bulan Januari 2010.

Hari-hari ini, rakyat Mesir, Jordania, Suriah, dan Arab lainnya, sedang mempersiapkan peringatan "Nakba". Peringatan yang memperingati pengusiran dan pembantaian yang dilakukan Yahudi di Palestina.

Israel juga secara sistematis berusaha menghancurkan Masjidil Aqsha, dan menggali torowongan di bawahnya. Kejahatan yang dilakukan Israel tidak akan pernah berhenti terhadap rakyat Palestina. Kejahatan yang tiada taranya, yang hanya bisa disamai oleh Hitler.

Selama ini, kaum Muslimin hanya menjadi objek dan tertuduh sebagai teroris, fundamentalis, ekstrimis, pelaku kekerasan. Tetapi, kenyataannya umat Islam yang selalu menjadi korban kaum rasis Yahudi-Israel.

Mereka terus berkampanye bahwa umat Islam itu selalu diidentikkan dengan pelaku kekerasan. Tetapi, sejatinya sejak dahulu kala, sampai saat ini yang paling banyak membunuh ummat Islam adalah kaum Yahudi dan Nasrani.

Mengapa umat Islam berdiam diri membiarkan dirinya terus menerus didzalimi secara kejam oleh mereka yang selalu meneriakkan pluralisme, kebebasan beragama, toleransi agama, inklusivisme?

Mereka itu sejatinya gerakan yang haus darah umat Islam. Di mana saja mereka menumpahkan darah umat Islam dengan menggunakan tangan orang lain. Tak layak orang beradab memperingati kemerdekaan Israel. Wallahu'alam. (MIdea/era)

Sabtu, 14 Mei 2011

Kemana Infaq Jum’atan anda selama ini disalurkan/dimanfaatkan...??


“Mari sedikit kritis terhadap apa yang terjadi dengan masjid kita saat ini.....” ini barangkali ungkapan awal yang mesti saya sampaikan  sebelum membahas lebih detil tema di atas.
Hari ini mayoritas ummat telah kehilangan kekritisannya, karena sikap kritis ummat ini seakan-akan telah menjadi barang langka, termasuk mengkritisi tentang apa yang ada di dalam rutinitas masjid kita hari ini, kelangkaan ini tak lain karena Pertama, Kebanyakan kita enggan atau merasa tidak nyaman melakukan sikap kritis, terlebih lagi terkait dengan masjid. Kedua,  Kebanyakkan para takmir/pengurus masjid masih banyak yang beranggapan bahwa sikap kritis ini sebagai upaya untuk merusak jalinan ukhuwah masjid dan  tatanan yang telah berjalan, maka jangan heran kalau jika ada yang bersikap kritis akan cenderung di “bunuh karakternya” dan jika perlu tidak boleh aktif dalam kegiatan masjid kecuali hanya sebatas sholat semata.
Hilangnya sikap kritis kaum muslimin saat ini terhadap masjidnya bukan tanpa akibat, banyak hal yang terjadi dimasjid kita yang masih perlu untuk dikritisi dan sekaligus diperbaiki, salah satunya yakni pemanfaaran/ penyaluran Infaq Jum’atan masjid yang barangkali kita selama ini berinfaq disetiap jum’at. Yang jadi pertanyaan adalah pernahkan selama ini anda berpikir tentang pemanfaatan dan penyaluran Infaq jum’atan anda selama ini ??? Atas pertanyaan ini, saya bisa memastikan bahwa kita kebanyakan tidak memikirkannya, entah karena kurang kritis atau memang kita tidak peduli terhadap apa yang terjadi di masjid kita saat ini.
Mari kita tenggok dan kita lihat kas  masjid kita saat ini, yang terpampang  cukup jelas di depan masjid, kira - kira berapa ??? Dan kemana selama ini disalurkannya ???. Maka, jika anda kritis anda akan terheran-heran, bahwa masjid kita saat ini kebanyakan mengalami surplus (kelebihan dana) atau dengan kata lain antara pemasukkan dan pengeluaran lebih banyak pemasukkannya, jika demikian yang terjadi maka masjid-masjid kita saat ini sudah dipastikan kas nya akan melimpah.
Untuk itu, anda jangan kaget jika masjid saat ini (untuk ukuran sedang, kas masjidnya bisa mencapai lebih dari Rp. 7 Juta), kalau anda kurang percaya, coba telusuri masjid disekitar anda, niscaya anda akan sependapat dengan saya. Lalu dana sebanyak itu untuk apa, yang jelas dana tersebut terkesan hanya sekedar terpampang di papan pengumuman, dan kurang optimal pemanfaatannya, mungkin hanya sebagai pelengkap semata, bahwa masjid harus ada papan pengumuman dan laporan keuangannya (biar pantas dikatakan masjid yang transparan dan akuntanbilitasnya baik),
Kondisi yang sebagaimana yang saya gambarkan di atas, membuktikan bahwa infaq jum’atan kita selama ini yang kita infaqkan di setiap jum’at ternyata kurang optimal pemanfaatannya, lalu siapa yang paling bertanggungjawab dalam persoalan ini ? Tak lain adalah Takmir/pengurus masjid setempat karena dipundanyalah infaq tersebut diamanahkan.
Tetapi seringkali para takmir/pengurus masjid juga berargumen bahwa dana kas masjid tersebut untuk cadangan masjid jika sewaktu-waktu membutuhkan, alasan ini terkesan tidak realistis dengan kondisi masjid hari ini, karena kenyataannya dana tersebut terlalu banyak untuk ukuran cadangan, seharusnya dana tersebut bisa segera disalurkan untuk ummat yang membutuhkan dan bukannya diendapkan? Dan tidak perlu merasa kuatir dengan kebutuhan dana rutin masjid, mengapa ? 
1      Karena sebenarnya potensi dana yang masuk ke kas masjid selain rutinitasnya bisa diharapkan, besarnya pun sebenarnya cukup lumayan untuk pemberdayaan masjid,  contohnya Infaq Jumatan masjid.
2      Seharusnya tidak perlu terjadi adanya pengendapan dana atau dana yang tidak termanfaatkan diluar batas kewajaran.
3      Karena kebutuhan pokok masjid, kalau dihitung-hitung tidak akan mencapai Rp 1 juta/bulan, paling-paling untuk masjid ukuran sedang kebutuhan dana hanya pada kisaran Rp 200.000,00 s/d Rp. 300.000,00/bulan saja. Perhitungan ini hanya untuk listrik masjid, tenaga kebersihan, transport khotib dan acara pengajian yang sederhana
     Jika kebutuhan pokok/bulan ini bisa kita buat aman dalam waktu 5 bulan, maka kebutuhan pokok masjid hanya sebesar Rp 300.000,00 x 5 bulan = Rp 1.500.000,00 (untuk kurun waktu 5 bulan ke depan). Sedangkan apabila masjid memiliki saldo mengendap Rp 7.000.000,00 ini berarti besarnya dana yang mengendap (yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk ummat) sebesar Rp 7.000.000,00 - Rp. 1.500.000,00 = Rp. 5.500.000,00.

Lalu yang jadi pertanyaan, atas dasar apa dana yang mengendap tersebut tidak dimanfaatkan/disalurkan untuk ummat? ...Takut habis ..? Sebenarnya tidak ada alasan dana tersebut tidak segera disalurkan, apalagi jika alasan tersebut hanya berlandaskan ketakutan-ketakutan semata. Mengendapnya dana kas masjid merupakan tanggungjawab takmir/pengurus masjid saat ini, baik dihadapan manusia maupun Allah Swt, terlebih lagi jika ada masyarakat sekitar masjid yang sangat membutuhkan dana, misalmya untuk berobat, makan atau lainnya, sedang masyarakat tersebut telah berusaha untuk mencari dana kemana-mana tapi tidak mendapatkan hasil, disatu sisi ternyata dana kas masjid yang terpampang dipengumuman sangat melimpah, tentunya hal ini sangat kontras dan kurang relevan dengan fungsi yang seharusnya diperankan masjid, yakni memberikan perhatian ummat. Untuk itu, jika kasus yang saya gambaran diatas benar-benar terjadi dilingkungan masjid kita tentu hal ini merupakan tamparan yang sangat memalukan bagi pengelolaan masjid-masjid kita saat ini.
Maka dari itu dana kas masjid yang tidak dimanfaatkan untuk ummat dan hanya sekedar disimpan tentunya menjadi tanggungjawab dan amanah yang besar dipundak para takmir/pengurus masjid saat ini dan suatu saat pasti akan dimintai pertanggungjawabannya, karena memang tidak mudah menjadi Takmir/Pengurus masjid hari ini, selain dibutuhkan keikhlasan yang tulus, ternyata kepakaran dan kemampuan juga menentukan maju mundurnya ummat di sekitar masjid, terkhusus lagi yang mampu mengelola dana kas masjid secara baik. Maka jika anda seorang Takmir/Pengurus Masjid tapi tidak mampu mengurus dan mengelola masjid dengan baik, memang sebaiknya mundur dan menyerahkannya pada orang yang lebih mampu untuk mengelolanya, karena dengan menyerahkan pada orang yang lebih mampu akan menyelamatkan diri anda dihadapan Allah dan tentunya ummat akan semakin baik ditangan orang yang memang pantas untuk menjadi takmir/pengurus masjid. (Sumber :khoirotunhisan.org)

Selasa, 10 Mei 2011

Meluruskan Pengelolaan Infaq/Kas Masjid hari ini



Fenomena saat ini, banyak diantara pengurus/takmir Masjid yang tidak tahu tentang pengelolaan dana Kas masjid yang sumbernya dari infak Jamaah masjid dan ternyata masih ada saja takmir/pengurus masjid yang tetap bertahan untuk menyimpan dana kas masjidnya dan tidak segera menyalurkannya untuk ummat yang membutuhkan, takmir/pengurus tadi berdalil bahwa kas masjid untuk persediaan/cadangan dana kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
          Walaupun alasan takmir/pengurus masjid ini tidak realistis dan wajar (karena jumlahnya terlalu banyak untuk ukuran candangan kas masjid) saya bisa memahami mengapa takmir/pengurus masjid ini memiliki pemahaman demikian. Pemahaman ini ternyata banyak dipegang oleh para takmir/pengurus masjid hari ini, sehingga untuk menjadikan dana kas masjid agar benar-benar optimal dan manfaat untuk ummat, sepertinya membutuhkan “keajaiban”.Untuk itu, jika pemahaman sebagaimana takmir/pengurus masjid di atas masih ada, saya amat yakin ummat kurang mendapatkan manfaat dan perhatian yang serius dari masjidnya, terlebih lagi untuk mewujudkan pengelolaan infaq /kas masjid yang baik, rasanya sangat mustahil untuk direalisasikan.
          Lalu mengapa pemahaman sebagian takmir/pengurus masjid di atas bisa ada? Salah satu faktornya yakni banyak takmir/pengurus masjid hari ini yang memiliki paradigma (cara pandang) yang salah atau kurang tepat terhadap pengelolaan infaq/kas masjidnya, sehingga dari cara pandang yang salah ini berakibat salah pula di dalam menerapkan atau menjalankan pengelolaan kas masjidnya. Adapun beberapa cara pandang yang dianggap keliru diantaranya :
1.    Banyak takmir/pengurus masjid yang masih beranggapan bahwa menyimpan dana (apalagi disimpan di bank) adalah cara yang paling tepat dan aman untuk mengelola kas masjid, sehingga seorang yang diamanahi mengelola dana kas masjid tidak terasa terbebani (karena disimpan di bank), padahal yang terjadi dengan disimpannya dana tersebut (sebagai wujud dari pengelolaan kas masjid hari ini), masjid hanya mendapatkan satu manfaat saja yakni rasa aman semata dan tidak mendapatkan manfaat lainnya semisal pemberdayaan ummat di sekitar masjid, kalaupun ada manfaat yang bisa dirasakan biasanya tidak sebanding dengan dana yang disimpan di bank tersebut, bahkan dana yang disimpan seringkali terus berkurang sebagai kompensasi atas biaya administrasi selama ditabung di bank.
Selain itu, jika dana kas masjid dimasukkan dalam bank, dan tidak segera disalurkan untuk ummat, siapa yang pada akhirnya memanfaatkan dana tesebut ? Mungkinkah masjid selaku penyimpan bisa memanfaatkan dana atau ummat sekitar masjid bisa mendapatkan manfaatnya ?Jawabannya jelas tidak, paling-paling masjid hanya akan mendapatkan bagi hasil semata dari pihak bank yang besarnya cenderung sangat kecil
Lalu siapa yang memanfaatkan dana kas masjid kita, jika disimpan di bank ? Pemanfaatan dana kas masjid yang telah ditabungkan ke bank tentu menjadi tanggungjawab dan kewenangan pihak bank untuk mengelolanya dan semua terserah dengan bank tersebut.
Padahal dana yang telah masuk di bank akan dikelola sebagai dana investasi (pihak bank tidak tahu/tidak mau tahu asal dana tersebut, dari dana infaq atau kas masjid, yang penting ada yang menjadi nasabah), sehingga siapapun yang akan memanfaatkan dana bank akan dikenakan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pengelolaan dana bisnis, salah satu ketentuan yang sudah lazim dilakukan, yakni bahwa siapapun yang mengajukan pinjaman dana usaha ke bank diharuskan mempunyai jaminan pada bank yang besarnya minimal sebanding dengan dana yang dipinjam.
Contoh yang mudah dipahami, yakni jika ada 10 orang masing-masing menabung di bank sebesar Rp. 1 juta rupiah, maka total tabungan dari 10 orang tersebut adalah Rp. 10 juta rupiah. Kira-kira mungkinkah salah seorang dari 10 orang tadi, yang masing-masing hanya memiliki tabungan sebesar Rp 1 juta rupiah bisa mengajukan pinjaman dengan nominal Rp. 5 juta rupiah, sedangkan dia tidak memiliki jaminan sama sekali pada bank ? Jawabannya sudah pasti tidak mungkin. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak punya tabungan di bank sama sekali,  tapi dirinya memiliki jaminan sertifikat rumah, kemudian orang tersebut mengajukan pinjaman dana sebesar Rp 10 juta pada bank, mungkinkah pihak bank akan memberikan pinjaman ? Jawabannya sangat mungkin sekali. Mengapa ? Karena pihak bank hanya berorientasi pada keuntungan dan keamanan dananya. Maka jangan heran dari penggambaran di atas ada yang bilang bahwa,  apabila ada orang miskin yang menabung di bank dan tidak punya jaminan, maka orang tadi hanya mendapatkan rasa aman semata, bahkan ada yang berkomentar pula inilah gambaran nyata dari adanya orang-orang miskin memberikan pinjaman dana pada para pengusaha kaya/konglomerat melalui bank. Yang jadi pertanyaan, bagaimana jika dana tersebut adalah infaq/kas masjid kita saat ini yang sedang kita simpan di bank ? Padahal kenyataannya banyak ummat hari ini yang sangat membutuhkan uluran bantuan dari masjidnya?

Inilah salah satu kesalahan fatal pengelolaan infaq/kas masjid kita hari ini yang kurang berpihak pada ummat, tapi justru secara tidak langsung berpihak pada konglomerat kaya, naudzubillah  

2.    Takmir/Pengurus masjid saat ini memandang Infaq/kas masjid layaknya dana bisnis sehingga dalam menyalurkan dana cenderung berpikir untung dan rugi, akibatnya ummat tidak mendapatkan kemudahan dan manfaatnya dari infaq/kas masjid. Bahkan kebanyakan ummat saat ini dalam urusan pinjam-meminjam dana untuk usaha atau keperluan hidup lainnya lebih menggandalkan bank plecet (rentenir) dari pada harus ke pengurus masjid setempat, di bank plecet selain prosedurnya mudah juga tidak rumit sebagaimana di masjid
Dalam pembahasan ini penulis pernah bertemu dengan seorang takmir/pengurus masjid, pengurus tersebut mengatakan bahwa : Kita percumah saja meminjami dana usaha untuk ummat yang membutuhkan dana usaha, karena dana pasti akan macet, lebih baik kita berikan dalam bentuk sembako yang bisa langsung dimanfaatkan. (biasanya diprioritaskan mendapatkan sembako adalah para orang tua yang telah lanjut usia, padahal seringkali orang tua yang telah lanjut usia menjadi tanggungan orang muda yang masih produktif, mengapa tidak pada para pemudanya saja ???), Akibat dari pandangan, produktifitas dan kemampuan kerja tumpul dan sulit untuk mampu mandiri, khususnya bagi para pemuda. Inilah salah satu pandangan bahwa infaq/kas masjid dipandang sebagai dana investasi.
         
          Maka, paradigma ini perlu diluruskan, bahwa infaq/kas masjid harus tetap dipandang sebagai infaq, artinya dana dari sumber infaq tersebut harus segera disalurkan untuk ummat yang membutuhkan dan tidak perlu berpikir untung dan rugi, terlebih lagi diendapkan (karena ini sudah menjadi hak ummat). Dan akan lebih baik lagi jika takmir/pengurus masjid membuat mekanisme penyaluran dana yang baik, misalkan : untuk sosial dana dibatasi Rp. 100 ribu saja, untuk membantu usaha yang telah berjalan dana yang disalurkan sebesar Rp. 300 ribu dan diminta kembali (bagi yang sudah punya usaha mapan dan sangat mungkin untuk mengembalikan dana) dan bagi yang memulai usaha dari nol disiapkan betul dana yang cukup sehingga ummat mampu mandiri dengan sebenarnya.
          Tapi, sayangnya mekanisme penyaluran yang baik belum pernah dibentuk, tapi  para takmir/pengurus masjid sudah terlanjur dihantui dengan dana tidak kembali, padahal bertambahnya dana infaq itu kalau dana tersebut disalurkan untuk ummat yang membutuhkan, semakin banyak yang kita salurkan akan semakin banyak dana yang akan masuk pada kas masjid kita.Insya’ Allah.

Dan perlu dicatat bahwa, dana infaq/kas masjid adalah dana yang seharusnya segera disalurkan semua tanpa harus berpikir untuk dikembalikan, kalaupun berpikir untuk dikembalikan hanya pada pertimbangan asas pemerataan semata dan bukannya malah diendapkan seperti saat ini, wallahu alam.  (Sumber :khoirotunhisan.org)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites